LUKISAN HATI
By: Edelweiss Princess
Sore ini hujan gerimis turun membasahi bumi hingga terasa sejuk bagai selimut embun yang turun melingkupi. Suara goresan dan bunyi kertas yang tertiup hembus nafas terdengar di antara gerimis sayup dari balik jendela yang hanya dilalui cahaya. Aku semakin semangat mencoret sehelai kertas putih dengan segenap inspirasi yang mengalir dalam dingin yang menyejukkan, membuat tanganku berkeringat dan badan jadi semakin panas karena hasrat dari dalam diri.
Semasih gerimis turun tak terbendung, akhirnya bayangan itu selesai. Tampak jelas sosok wajah tampan berambut lurus dan bermata teduh dari balik kertas. Bibirnya yang dihapus berkali-kali membentuk seulas senyum lembut yang tak pernah membosankan.
Aku menciumi pria dalam lukisan itu berkali-kali. Penuh rindu.
“Kak?” Kika membuka pintu.
“Ini lukisan siapa?” tanya Kika kagum. Ia mengambil lukisan itu dan menyentuh tiap lekuk wajahnya. Aku yang sedang mendengarkan musik terkejut lalu berbalik.
“Jangan sentuh!” teriakku marah. Aku merebut lukisan yang hanya dipoles dengan warna pensil.
Kika kaget. Tak menduga reaksiku yang biasanya terkenal ceria berubah 180 derajat. Aku sendiri juga heran. Kenapa aku sesensitif ini sih?!
“Kok kakak marah sih? Aku kan cuma ngelihat aja…”
“Maaf... Aku…Kakak hanya takut kertasnya lecek. Kamu baru dari luar kan?” kilahku.
“Oh ya? Sampai kaget. Mm… ngomong-ngomong ini lukisan siapa? Pacar Kakak ya….?” ledek Kika.
“Nggak kok… ini…” Aku terdiam.
Ini lukisan seseorang yang kuinginkan ada.
“Ini apa….? Hayooo….”
“Soeharto waktu muda!” ucapku asal. Kika tertawa.
“Ha…? Hahaha! Ganteng banget tuh! Mana ada Soeharto pake giwang gaul zaman bahola,” tawa Kika. Aku tersenyum lalu menyimpan lukisan yang dibuat di atas selembar kertas bekas fotokopian tugas Reading Aloud kemarin dalam laci paling bawah. Kika mengajakku membuat mie rebus. Katanya kalau hujan gerimis seperti ini paling enak makan yang hangat-hangat. Aku menurut saja. Lagipula pikiranku sedang buntu sekarang.
Tak sampai satu jam setelah mengobrol dan menggosip tentang cowok akhirnya Kika pamit.
Kamar kembali sepi. Aku membuka laci yang penuh dengan kertas fotokopi. Lukisan tadi kukeluarkan lalu ditempel di dinding dekat lemari.
“Miraculous beauty…. I love you….” Aku mencium lukisan itu lama-lama. Entah kenapa aku jadi sangat menyukai lukisanku sendiri. Padahal biasanya setelah lukisan-lukisanku jadi, aku hanya menempel atau menyimpannya di kamar tidur. Lalu fotonya kupajang di internet. Siapa tahu ada yang tertarik membelinya. Oh ya… aku juga ingin menghasilkan uang dari hasil penjualan lukisan-lukisan ku. Dan selama aku kuliah di sini sudah ada sepuluh lukisan yang terjual. Lumayanlah...
“Ya Tuhan. Aku ingin dia hidup. Aku jatuh cinta padanya…” bisikku tanpa sadar.
Hujan semakin lebat. Aku mencium lukisan itu untuk terakhir kalinya sebelum ia tidur, seperti kebiasaanku mencium boneka teddy cokelat menjelang tidur.
***
Kurasakan tubuhnya begitu ringan seperti melayang. Kakiku sama sekali nggak menginjak bumi. Ya Tuhan! Aku terbang! Tapi… Bagaimana bisa? Aku terbang semakin tinggi dan tinggi hingga melampaui batas langit dan cahaya bintang-bintang lalu sampai di suatu tempat yang sangat terang dan penuh cahaya. Di sekitarnya makhluk-makhluk bersayap berjalan, terbang, dan lalu lalang sambil bergumam entah apa. Tapi, rasanya aku pernah mendengar dan berbicara seperti itu. Hal itu menumbuhkan kerinduan. Sesuatu yang seperti pernah kulihat di masa lalu.
“Maaf… Ini dimana ya?” tanyaku hati-hati. Sesosok makhluk berwarna perak menatapku heran.
“Kenapa manusia sepertimu ada di sini?” makhluk itu malah balik bertanya. Suaranya terdengar berat dan seperti gumaman. Aku sedikit cemas melihat makhluk itu menatapku terus-terusan.
“Aku sendiri nggak tahu kenapa bisa ada di sini. Ini dimana?”
“Ini langit di atas langit. Kamu seharusnya tidak berada di sini. Apa maumu?”
“Langit?” ujarku heran. Aku jadi ingat dengan dongeng manusia yang terdampar di sebuah negri yang aneh. Masa sih cerita itu benar-benar ada? Ah, tapi bukankah Tuhan itu ada?
“Menurutmu?”
“Dari dulu manusia suka memohon dan meminta apa saja yang mereka inginkan. Tapi setelah itu jarang dari mereka yang berterima kasih atau bahkan balas budi.”
“Ya… Tapi kan nggak semua manusia seperti itu.” Aku berusaha membela diri mengingat aku juga manusia. Makhluk itu mengerang pelan. Ia mencabut sehelai bulu dari sayapnya yang bewarna perak. Bulu itu terlihat seperti panah-panah kristal yang sangat tajam.
“Kau bisa memohon sesuatu di sini. Di sini doa lebih mudah didengar. Dunia terlalu ramai dan perasaan selalu mengambang kemana-mana,” katanya. Ia berjalan dengan ringannya sampai-sampai kakinya hampir tak menjejak daratan. Aku mengikutinya penuh waspada sampai akhirnya kami tiba di sebuah tempat seperti gazebo kecil yang bersinar kehijauan.
“Di sini,” katanya. Ia menyuruhku masuk dan ia sendiri keluar dari gazebo.
“Aku harus ngapain di sini?” tanyaku bingung. Aku nggak disuruh mandi kembang kan? Karena kulihat ada banyak teratai mengambang di permukaanya yang tenang. Eh, bagaimana kalau ada Anaconda meloncat keluar dan langsung memangsaku?
“Apa kau menginginkan sesuatu?”
“Hm… Ada sih… Malahan banyak banget.”
“Jangan serakah. Mintalah satu permintaan dahulu. Satu saja permintaanmu jika terkabul kamu belum tentu akan berterima kasih ataupun balas budi,” kata makhluk itu dingin. Ia membentangkan sayap peraknya.
“Cepatlah. Waktumu tak banyak. Setelah itu kamu harus kembali ke duniamu,” katanya lagi. Aku merengut. Pelit sekali sih! Minta apa? Kalau dipikir-pikir terlalu banyak yang ingin ku minta. Tapi aku tidak mau disebut serakah. Bagaimana kalau….
“Aku ingin jadi orang kaya saja.”
“Ada banyak jalan untuk menjadi kaya dan kamu bisa memilih jalan untuk mencapainya. Carilah permohonan yang paling mustahil. Yang takkan bisa kamu penuhi atau oleh siapapun di dunia ini.”
“Bagaimana kalau Almarhum Ayahku hidup kembali? Aku sangat merindukannya,” pintaku agak tercekat. Aku ingat usai pemakaman Ayah, aku berusaha bunuh diri karena tidak bisa menerima kenyataan kalau orang yang telah menjagaku dari kecil itu telah pergi untuk selama-lamanya. Aku yatim piatu sekarang. Hidupku saja hanya dari keuntungan perusahaan kecil Ayah yang untung saja masih jalan sampai sekarang. Perusahaan itu dikelola oleh Paman.
“Semua yang mati akan kembali ke sisi-Nya. Cepat! Waktumu tak banyak!”
Aku berpikir keras. Tiba-tiba aku ingat pada lukisan yang tadi sore kubuat.
“Aku berpikir bagaimana kalau lelaki yang aku lukis tanpa aku pernah bertemu atau kenal dengannya sebelumnya, hidup dan aku bisa bertemu dengannya. Tentu aku akan merasa sangat beruntung.”
“Kamu yakin?” tanya makhluk itu.
“Aku akan berterima kasih dan balas budi yang aku bisa jika permohonan ini terkabul!” Aku menegaskan. Makhluk itu menatapku tajam. Setajam tiap helai bulu sayapnya yang berkilauan.
“Baiklah. Sekarang berdoalah pada Tuhan dengan tulus. Murnikan hati dan pikiranmu.”
“Selesai.” jawabku tersenyum puas. Makhluk itu mengulurkan sebelah tangannya yang seperti terbuat dari cahaya tapi terasa hangat.
“Aku akan membawamu kembali pulang. Tapi berjanjilah satu hal. Jangan pernah sekali-kali menceritakan hal ini pada siapapun. Kalau tidak maka kamu akan kehilangan permohonanmu tadi.”
“Ya. Tentu saja. Aku juga nggak mau dikatai orang gila.”
“Tutup matamu!” perintahnya. Kupejamkan mata. Sesaat aku merasa mengambang di udara dan dari kelopak mata yang tertutup samar-samar aku melihat cahaya hijau dimana-mana. Sudah cukup! Aku tak tahan lagi. Apakah aku akan terkena radiasi luar angkasa kalau membuka mata sekarang?
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar